(Sebuah Puisi yang Aku Ikutkan dalam Sayembara Penulisan Puisi, dan Belum Lolos :D)
Ini
bukan seikat puisi. Anggap saja sebuah novel kontemporer yang tengah naik daun
Ini
bukan bait-bait syair penyanjung. Silakan lihat sebagai celoteh manusia yang
darah muda tengah megalir dalam dirinya
Ketika
nanti usiaku membapak. Rentan
Ketika
mataku mulai rabun. Katarak bahkan
‘Kan
kuceritakan bahwa orang-orang berdasi itu membawaku lari dari kemiskinan, mengajakku
menjejakkan kaki di latar sekolahan. Mereka berkenan duduk mendengarkan
orasiku. Tak menganggapnya sekadar teriakan mahasiswa jalang penuntut keadilan
Mereka
mengakreditasikan aku dengan pangkat berwibawa. Duduk di hadapan meja. Mesin
ketik berada di atasnya. Sahaja
Akan
aku ceritakan bahwa orang-orang bersafari itu menghadiahiku dengan pensiunan.
Memberiku kecukupan di masa senja
Akan
kuceritakan. Akan aku ceritakan
Dan
selaksa “akan” itu berhenti seketika. Padahal pena dan bulu angsa ini masih
lebih dari cukup untuk meneruskannya.
Bahkan hingga lelah membersama. Tak kuasa.
Ya.
Selaksa “akan” itu lalu tergantikan. Selaksa “asa”
Mereka
tak membawaku ke mana-mana. Aku masih di sini. Papa. Alpa
Mungkin
mereka tengah berdiskusi dengan diri. Tentang janji yang musti tertepati
Mungkin
mereka tak bermaksud membuta dan tuli tentang jerit si miskin yang jali.
Mungkin, mereka hanya terlebih dulu menyusun kurikulum menuju cita negeri
Hanya,
harus berapa banyak lagi “mungkin” kira aku tetap tanamkan baik sangka dalam
hati
Hingga
jelata semakin melata? Hingga si buruk gizi mati sia-sia? Hingga korupsi
Indonesia mendunia?
Melihat
tunas tumbuh tanpa hangat surya. Melihat mereka hidup dengan mimpi yang tak
nyata. Selaksa asa yang tak akan menjadi nyata. Tak bisa. Membayangkannya pun
lara
BIODATA
Nama Lengkap : Lilis Nurhayati
Tempat, Tanggal Lahir : Cilacap, 24 Juli 1994
Alamat : Jl. Masjid No.
09 Rt 01/10 Dukuh Waluh
Kec. Kembaran Kab.
Banyumas
53182
No. Hp : +6285726510370
Akun Facebook : Lilis
Nurhayati (safar15safar@gmail.com)
NARASI SINGKAT PUISI
“Aku”
sebagai rakyat menginginkan penepatan janji para pemimpin tentang kesehatan,
pendidikan, kebebasan berpendapat dan didengarkan, serta kesejahteraan. Hal-hal
yang sebenarnya sangat dasar bagi sebuah bangsa. Namun yang “aku” inginkan
terasa sangat mahal. “Aku” tersadar bahwa yang “aku” inginkan sekadar “asa”.
Tidak akan pernah menjadi nyata. “Aku” berusaha dengan sangat keras
berprasangka baik terhadap tidak ditepatinya janji manusia-manusia berdasi.
Yang terjadi adalah semakin “aku” berusaha, semakin “aku” tak bisa. Karena
kepemimpinan kini yang justru menyuburkan kemiskinan, kejumudan dan korupsi.
“Aku” begitu takut jika yang “aku” wariskan pada generasi mendatang ternyata
hanya mimpi yang tak akan pernah terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar