Pages

Jumat, 26 April 2013

Jalan Cinta


“ Jeongmalyo?” Sergah Hye In, teman satu kelasku. Ia gadis yang manis, cerdas, dan tangguh. Mengapa kukatakan bahwa ia adalah gadis yang tangguh? Karena dia adalah seorang pengidap AIDS dan ia tak pernah menyerah pada takdir yang Tuhan berikan padanya.
“ Ne. Kau tak percaya? Lihat ini.. bajuku, lihat juga lembaran tugas yang basah dengan percikan lumpur ini. Kau tahu? Ini lah kenikmatan.” Kataku.
“ Hyun Sik!!” Teriak Hye In. Ia mencubit lenganku. Aku hanya terbahak.
“ Ah. Ani- ani.. ya, sudahlah. Ini sesuatu yang wajar. Ryeon Soo juga menginginkan beasiswa itu.”
“ Tapi caranya salah! Aku benci dengan kepasrahanmu!” Bentak Hye In. Ia berlalu, mendahuluiku. Dan aku hanya tersenyum melihatnya pergi dengan kekesalan.

Aku rasa berat
Tapi ini indah
Tuhan, jaga hatiku

Selepas pelajaran pertama tadi, Ren songsaengnim memanggilku untuk ke ruangan beliau. Beliau mengatakan bahwa beliau kecewa dengan tugas yang kukerjakan. Aku tak dapat mengatakan apapun. Hanya bisa  berdiam, meski sungguh aku tak tuli. Bahkan jika Tuhan mengizinkan, aku kan meminta pada-Nya untuk membuatku tuli. Nampaknya Ia tak berkenan. Dan aku yakin, ini karena Tuhan percaya bahwa aku mampu merubah dunia.

“ Hey, Sik! Bagaimana tugasmu?” Celoteh busuk terdengar. Ryeon Soo. Aku menghampirinya dengan terus berusaha meredamkan amarahku.
“ Gomawo..” Bisikku singkat. Lantas aku pergi meningglakannya yang terlihat mematung. Hatiku berdebar.
“ Terimakasih, Tuhan.” Batinku.  
                                                                
Salju turun
Tertebar lembut
Di sini, di ruang yang samar ini
Terjatuh air netra bening
Kilaunya terpancar cahaya samar Sang Lilin

“ Hanya itu yang dapat kau lakukan?” Ucap seseorang dari balik pintu. Ren songsaengnim. Beliau mendekatiku, tangannya menggenggam sepasang cangkir berisi minuman hangat. Segera kuhapus torehan basah yang melukai pipiku.
“ Kau lelaki. Tak pantas melihat salju turun sambil menangis seperti itu. Kau tak malu pada air di luar sana yang bertahan dan tetap menjadi air meski ia beku?”
“ Hyun Sik, maafkan aku karena tak dapat memberikan apa yang menjadi kebutuhanmu. Ibumu di surga pasti begitu marah padaku. Kau memakan makanan yang tak memenuhi gizimu, bahkan 50% pun tidak. Kau dingin saat angin menghempasmu, dan kau beku saat hujan turun. Lalu kau akan terbakar ketika terik terpancar. Aku tak memberikan yang terbaik untukmu. Bahkan, apa yang ku barikan ini tak layak untuk dinamakan pemberian.” Kata Ren songsaengnim, guru yang juga ibu asuhku. Mendengar itu, hatiku seperti teriris.
“ Hyun Sik, malam belum terlalu larut. Pergilah ke tempat di mana kau biasa mengetik tugasmu.” Tutur Ren songsaengnim seraya mengulurkan beberapa keping uang. Aku mengangkat pandanganku. Mataku berkaca. Kulihat beliau tersenyum padaku.
Lekas ku ambil sepedaku. Kuusap air mata yang tiba-tiba saja mengalir. Kelopaknya tak mampu membendung sang rinai. Aku kayuh sepedaku. Kota. Aku akan ke pusat kota Paju. Ini 1993, Paju masih salah satu kabupaten di provinsi Gyeonggi. Belum menjadi kota yang besar.
Dapat. Aku sampai di sebuah tempat rental dimana aku biasa mengerjakan tugas-tugasku. Jaraknya 30 Km dari rumah. Sekitar 2 jam perjalanan dengan sepeda. Dan ini adalah tempat rental komputer terdekat. Bibirku melukis senyum.
“ Nuna, ada yang kosong?” Tanyaku pada seorang penjaga pelayanan komputer di situ. Ia menunjuk sebuah tempat di sudut, nomor 24. Kulangkahkan kakiku. Rasanya aku melayang.
“ Hyun Sik?”
Aku terkejut. Hye In ada di sebelahku. Komputer nomor 22.
“ Hey? Tugas?” Tanyaku.
“Anio.. ini foto-fotoku, ada juga foto-foto teman satu kelas. Foto jelekmu juga ada, siswa kelas 3Godeunghakgyo (SMA) yang paling jelek.” Jelas Hye In. Aku tak terlalu mendengarkannya. Ia tahu itu. Dengn segera ia himpun bibirnya, menandakan kejengkelan.
Aku menolehkan pandangan ke arahnya.
“ Kau tahu? Kau terlihat 10 tahun lebih tua jika kau lakukan itu.” Ledekku. Hye In semakin mengerucutkan bibirnya.
1, 2, dan hampir tiga jam aku berjibaku di depan layar komputer. Akhirnya tugasku selesai. 80 lembar pembahasan materi tentang kearsitekan.
“Tuhan menyayangiku.” Bisikku dalam hati. Senyumku terpatri sampai aku tersadar bahwa sepedaku lenyap. Aku pulang. Berjalan kaki.
Pukul 22.00 waktu Paju. Aku berjalan berbadampingan dengan rintikan salju. Aku tak lagi mampu tersenyum. Tak lagi sanggup. Bukan jengkel dengan suratan Tuhan, hanya tak sanggup menahan dingin yang menikam perlahan ini. Bibirku berdarah karena kugigit terlalu keras. Aku lakukan itu saat dingin merebah. Namun dingin ini, terlalu berlebihan.

Tak apa, Tuhan
Aku tahu Kau begitu manyayangiku
Jaga seseorang di sana
Jangan Kau biarkan kekhawatiran menemaninya malam ini

03.45 waktu Paju. Dan aku sampai. Aku selamat.
“ Amma..” Panggilku dari luar pintu. Terdengar suara langkah menuruni tangga.
“ Masuk-masuk.”Haturnya. Dengan segera ia menuju dapur dan membuatkanku secangkir jahe merah, hangat.
“ Minumlah..”
Aku tersenyum padanya.
“ Ghamsahamnida, Amma.” Kataku sembari mengangkat minuman penghangat suhu tubuh itu.
“ Lekas habiskan. Lalu istirahalah.” Ucapnya seraya mengelus rambutku.
“Amma..” Terbata. Aku takut membuatnya kecewa. Ia memandangku lembut.
“ Jwesonghamnida.. aku, menghilangkan sepedamu.” Aku tak sanggup menatap matanya. Hanya dapat tertunduk.
“ Sudah-sudah. Habiskan jahe hangat itu, dan tidur.” Katanya. Ia sematkan senyum di bibirnya.
Beliau tak marah. Tak ada toreh kejengkelan di wajahnya.

Terimakasih, Tuhan
Aku masih hidup
Yakinkan pada hatiku bahwa aku bukan pecundang

Aku siap berangkat ke sekolah dengan tugas-tugas yang juga telah siap di dalam ranselku. Saat aku menuruni tangga, hendak sarapan, terdengar bunyi gaduh di dapur.
Saat aku tiba di ruang di mana kegaduhan itu datang, piring keramik kesayangan Amma melayang dan mengenai keningku.
“ Aigho! Hyun Sik! Pergilah dari sini.” Teriak Amma dari sudut ruangan. Ia duduk berjongkok seraya melindungi kepalanya dengan tangan.
“ Dasar kau! Bodoh! Di mana sepeda itu, ha?!” Kecam Appa, suami Ren songsaengnim. Ia mendekatiku dengan piring dalam genggamannya. Satu, dua pukulan mendarat di perutku. Aku tahu dia mabuk. Aku merasa ada yang basah di keningku. Benar, darah.

Jangan Kau buat aku kecewa
Jangan Kau buat aku menyerah dengan hidup ini, Tuhan

“ Ommo?? Hyun Sik? Kau baik-baik saja?” Tanya Hye In saat ia melihat keadaanku. Bercak darah. Aku mengangguk.
“ Hari ini, hari terakhir penyerahan berkas-berkas ke Inha University, kan?” Tanyanya kembali. Dan kembali aku mengangguk.”
“ Kau mampu. Aku yakin itu.” Kata Hye In seraya menepuk bahuku. Itu yang biasa ia lakukan untuk menenangkan hati yang mulai memar ini.
Aku telah menyerahkan berkas-berkas itu ke divisi kesiswaan. Ya.. aku salah satu siswa yang diberi kesempatan untuk memperoleh beasiswa di Inha University. Universitas terbaik di Seoul.
2 bulan berlalu. Aku belum juga mendapatkan informasi tentang beasiswa itu. Dan di bulan ke 3 setelah penyerahan berkas-berkas itu, aku harus menelan kenyataan pahit bahwa ternyata berkas-berkasku tertinggal. Tak ikut dikirimkan sebagaimana mestinya. Bagian kesiswaan menyadari itu satu bulan setelah berkas-berkas dikiramkan. Kata mereka, berkas-berkasku ada di meja yang salah. Aku yakin, aku tak salah meletakkan berkas itu. Aku meletakkannya di atas berkas-berkas milik Ryeon Soo. Tak mungkin salah.
1 bulan lagi ujian nasional. Aku hampir putus asa. Aku tak kuasa.
2 minggu yang lalu, sebelum Hye In pergi ia mengatakan bahwa aku adalah pemenang. Iya, Hye In berpulang. AIDSnya menikam.
 Saat ini, aku merasa bahwa aku adalah pecundang. Mengapa aku tak membunuh Ryeon Soo saat ia mengatakan bahwa dialah yang memindahkan berkas-berkas milikku dari meja ketua divisi kesiswaan.
“ Hyun Sik, kau pemenang!” Seperti itu kata Hye In. Lesung pipinya menawan. Ia mengatakn itu karena aku mengurungkan niatku menghajar Ryeon Soo.
Ren songsaengnim tak kecewa padaku, sepertinya. Karena ia tetap baik padaku.

Pancaran mentari
Mencumbu hangat
Sakura putih dan merah jambu bersenandung
Semi

Setelah hasil ujian nasional diumumkan, aku mencoba melamar pekerjaan di Inha University sebagai office boy. Dan aku diterima. Nila ujian nasionalku mencapai rata-rata 9,2. Rekanku sesama office boy mengatakan bahwa aku merendahkan nilai itu, aku memperkosanya. Aku hanya tersenyum.
Pekan ini, Inha University mengadakan sayembara design untuk sebuah bangunan baru yang akan di bangun di sekitar lorong sakura. Peserta bebas. Dan aku tak mau membuang kesempatan ini. Hadiahnya, tak main-main, 2M.

Kelopak bergantian
Menyapa
Kelopak sakura, menyapa gundukkan tanah di bawahnya

“ Hye In.. aku di Inha University sekarang. Tentu kau tahu, bukan utuk belajar. Bekerja. Apa kau baik-baik saja di sana? Wahai satu-satunya wanita muslim di kelasku? Maaf.. baru berkunjung. Ada yang ingin aku katakan padamu, Tuhanku, Allah menjadi saksi bahwa aku dan hatiku menyayangimu sedari dulu. Meski kupendam. Namun tetap tersimpan.” Aku menahan rinai air netraku. Kuburan, tempat Hye In beristirahat begitu hangat..
“Aku merasa kau baik-baik saja di sana.”
“ Besok aku akan menyerahkan design buatanku ke panitia perlombaan. Kau inspirasiku, Hye In. Tahukah apa yang kugambar? Sebuah ruangan kecil tempat yang sejuk dengan banyak jendela. Saat kau masuk di dalamnya, kau akan mendengar bunyi-bunyi senar biola yang bermelodi. Karena ini tempat belajar yang begitu menenangkan dengan alunan musik yang lembut. Saat kau melihat ke luar, kau akan menyaksikan sakura-sakura menyapamu karena bangunan ini akan di bangun di tengah-tengah pohon sakura Inha University.”

Aku hanya menyayanginya
Aku tak memaksakanMu untuk menjadikaknya sebagai milikku
Aku tahu, Kau tahu yang terbaik untukku

“ Selamat, Ne?” Ucap Han Sang seraya menepuk pundakku. Aku tesenyum. Ya, aku memenangkan sayembara itu.
“ Selamat.” Terdengar suara yang tak asing bagiku, Ryeon Soo. Aku menoleh padanya. Dia datang dan memelukku.
“ Maaf, kau begitu tahu keadaanku dan keluargaku. Tak jauh berbeda denganmu. Maaf karena pernah merebut hakmu dengan tidak baik. Dengan cara yang bajingan. Karena aku takut adikku akan mati kelaparan, enam adikku akan mati kelaparan menyusul ayah dan ibuku.” Ujar Hyeon Soo. Suaranya parau.
“ Hey, sudahalah. Aku telah memaafkanmu.”

Aku akan membangun rumah yang bagus dengan uang itu. Rumah untuk Amma dan Appa. Rumah yang hangat. Rumah yang nyaman untuk berbaring. Rumah yang kokoh, yang tak akan membuat cemas penghuninya saat salju turun karena takut tak mampu menahan gumpalan-gumpalan salju itu. Rumah yang indah dengan sakura saat semi. Dan dengan banyak jendela. Jendela yang saat kau sendiri, kau takkan merasa sepi ataupun takut karena gelap.
Dan dengan uang itu pula, aku akan melanjutkan studiku. Mencumbu kearsitekkan. Bukan untuk menjadi arsitek. Tapi lebih agung dari itu, menjadi temannya.
Inilah jalan cinta yang kutempuh. Meski curam, tampak terlalu tinggi, tak ada yang luput dari jangkauan cinta.
“ Kau diciptakan karena Allah mencintaimu.” Kata Hye In padaku, dulu sebelum aku menjadi maullaf. Benar, cintalah yang membuat semua ini mejadi mungkin.
“ Hye In, rumahku akan berdiri dengan banyak jendela nanti. Terimakasih telah jadi perantaraNya, untuk menorehkan warna-warna indah dalam hidupku.

Tidak ada komentar: