Lilis Nurhayati
1201040035
PBSI 2A
SEMIOTIKA:
TEORI, METODE, DAN PENERAPANNYA DALAM KARYA SASTRA
Semiotika
adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika merupakan lanjutan dari
strukturalisme. (Junus, 1981: 17)
Menurut
Preminger (1974: 17), semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda, mempelajari
fenomena sosial-budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda.
Menurutnya,
tanda memiliki dua aspek, yaitu:
1. Penanda
(signifier/signifiant) adalah bentuk formal tanda itu, dalam bahasa berupa
satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis.
2. Petanda
(signified/signifie) merupakan artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penandanya
itu.
Tanda
berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya:
1. Ikon
Tanda
yang penanda dan petandanya menunjukan adanya hubungan yang bersifat alamiah,
yaitu penanda sama dengan petandanya.
2. Indeks
Tanda
yang penanda dan petandanya menunjukan adanya hubungan yang alamiah yang
bersifat kausalitas.
3. Simbol
Tanda
penanda dan petandanya tidak menunjukan hubungan alamiah, hubungannya arbitrer
berdasarkan konvensi.
Selain
itu, ada pula yang dinamakan simtom (gejala), yaitu penanda yang menunjukan
(petandanya) belum pasti.
Metode
semiotik dalam pemaknaan sastra berupa pencarian tanda-tanda yang penting sebab
keseluruhan sastra itu merupakan tanda-tanda baik berupa ikon, indeks, atau
simbol.
Memberi
makna berarti mencari konvensi-konvensi
apa yang menyebabkan tanda-tanda itu mempunyai arti ata makna.
Sistim
semiotik dalam lapangan semiotika:
1. Sistim
semiotik tingkat pertama (Bahasa).
2. Sistim
semiotik tingkat kedua.
METODE PEMAKNAAN RIFFATERRE
Empat
hal yang harus diperhatikan dalam pemaknaan sastra:
1. Puisi
merupakan ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain.
Ekspresi tidak langsung itu disebabkan oleh:
a.
Pengganti arti (displasing of meaning).
b. Penyimpangan
atau pemencongan arti (distorting of meaning).
c. Penciptaan
arti(creating of meaning)
(Riffaterre, 1978:1,2)
2. Pembacaan
heuristik dan pembacaan retroaktif atau hermeneutik.
Pembacaan heuristik,
pembacaan berdasarkan tata bahasa normatif, morfologi, semantik, dan sintaksis.
Pembacaan ini menghasilkan arti sajak secara keseluruhan menurut tata bahasa
normatif sesuai dengan sistim semiotik tingkat pertama. Pembacaan ini belum
meberikan makna sajak atau makna sastra.
Pembacaan retroaktif
atau hermeneutik berdasarkan konvensi sastra. Puisi merupakan ekspresi tidak
langsung. Pembacaan ini merupakan pembacaan menurut semiotik tingkat kedua.
3. Matriks,
model dan varian-varian.
Matriks adalah kata
kunci, dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat
sederhana. Matriks bukan tema atau belum merupakan tema. Matriks
ditransformasikan ke dalam (menjadi) model yang berupa kiasan. Matriks dan
model ditransformasikan menjadi varian-varian.
4. Hipogram.
Merupakan teks yang menjadi
latar belakang penciptanya.
Puisi,
Ekspresi Tidak Langsung
Puisi
berubah dari waktu ke waktu disebabkan perbedaan konsep estetik dan evolusi
selera. Yang tetap adalah bahwa puisi menyatakan suatu hal dengan arti lain.
Ada ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi atau sajak. Hal itu disebabkan oleh
tiga hal, penggantian arti (displasing of meaning), pemencongan arti
(distorting of meaning), dan penciptaan arti(creating of meaning).
a. Penggantian
Arti
Disebabkan oleh metafora dan metonimi, bahasa kiasan
pada umumnya, yaitu simile(perbandingan), metafora, personifikasi, sinekdoki,
dan metonimi.
b. Pemencongan
Arti
Disebabkan oleh ambiguitas (penggunaan kata-kata,
frase, kalimat, atau wacana yang taksa atau ambigu, memiliki makna yang lebih
dari satu (polyinterpretable), bisa diartikan macam-macam menurut konteksanya,
kontradiksi (penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis), dan nonsense (
“kata-kata” yang tidak mempunyai arti, yang tidak ada dalam kamus). Memiliki
makna lain sesuai dengan konteks.
c. Penciptaan
Arti
Disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, di
antaranya, enjambement (perloncatan baris dalam sajak), sajak (menimbulkan
intensitas arti dan makna liris), tipografi (tata huruf) dan homologue
(persejajaran bentuk atau persejajaran baris).
Pembacaan
Heuristik dan Hermeneutik
Pembacaan
berdasarkan sistim semiotik tingkat pertama adalah pembacaan heuristik.
Pembacaan tersebut merupakan pembacaan menurut sistim tata bahasa normatif.
Pembacaan berdasarkan sistim semiotik tingkat kedua adalah pembacaan retroaktif
atau hermeneutik. Dalam pembacaan ini,
untuk memberi makna sajak harus dibaca berdasarkan konvensi sastra, sajak
merupakan ekspresi tidak langsung. Konvensi yang lain, puisi bersifat
universal, yaitu dari yang bersifat individu menjadi nasional atau bahkan
internasional.
Matriks,
Model, dan Varian-varian
Secara
teoritis, sajak merupakan perkembangan dari matriks, menjadi model dan ditransformasikan
menjadi varian-varian. Dalam analisis sajak (karya sastra), matriks
diabstraksikan dari karya sastra yang dianalisis.
Hipogram:
Hubungan Intertekstual
Untuk
memberikan makna yang lebih penuh dalam pemaknaan sastra, sebuah karya sastra
perlu dijajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar
belakang penciptanya.
Sumber:
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2007. Prinsip-Prinsip
Karya Sastra.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar