Pages

Jumat, 26 April 2013

Senja Di Musim Gugur


Tak seperti biasanya. Buku yang ku bawa banyak sekali. Bagaimana lagi, aku tak mungkin meninggalkan laptopku. Fikirku nakal, aku lebih memilih membawa laptopku daripada buku-buku pelajaran ini. Tawaku merekah. Terkekeh. Ada lomba berkaitan dengan kegemaranku, menuliskan kisahan kecil. Tadi pagi, aku menyelesaikan kisahan itu. Aku akan mengirimkan itu via e-mail nanti. Siapa tahu ada inspirasi lain di sekolah. Dan hari ini, aku sangat gembira. Aku optimis menang. Dan itu berarti, aku pun optimis bahwa aku bisa segera membeli obat untukku. Aku yakin bahwa aku pasti akan sembuh dari sakitku.

"Bagaimana cerpenmu?" Tanya Hyoo Ra padaku. Kami bertemu di jalan menuju sekolah. Dia mengenakan tas baru. Aku terbahak.
"Hey! Aku bertanya padamu." Nampaknya Ra kesal padaku. Ia menghimpun bibirnya.
" Aigho. Mianhe, Eonni. Tasmu lucu. Pink-pink pinkkyyyy." Ledekku. Kami berkejaran hingga tiba di depan gerbang sekolah. Rasanya kami datang terlalu pagi. 
" Pai, Hwan." Ucap Hyoo Ra padaku. Kami tidak satu kelas. Dia lebih tua satu tahun dariku. Meski seperti itu, dia tak lebih dewasa dariku. Dia masih mau menangisi lelaki busuk seperti Han Dong In, mantan pacarnya.

Sekitar sepekan lalu, Hyoo Ra datang ke rumahku seraya menangis. Sebelum dia mengatakan alasannya menangis, aku terlebih dulu tahu. Apa lagi jika bukan sakit hati atas perlakuan Dong In. Dan sepekan lalu pula hubungan Hyoo Ra dengan Dong In putus. Kesalahan itu sebenarnya kesalahan Dong In. Tetapi ia pula yang memutuskan hubungannya dengan Hyoo Ra. Tanpa  rasa bersalah. Betapa aku ingin menghabisi lelaki itu. Seenaknya sendiri mempermainkan wanita.

Senja Tiba. Itu artinya istirahat akan sedikit lebih lama sebelum pelajaran selanjutnya dimulai. Aku berjalan menuju taman dekat lapangan voli. Ku rasa, aku akan menemukan ketenangan di sana. Aku akan duduk di dekat kolam ikan. Pasti menyenangkan merangkai beberapa kata untuk melengakapi cerpenku sebelum akhirnya ia ku kirim ke panitia lomba.
" Kau tak lapar?" Tanya Hyoo Ra padaku seraya mengunyah makanan di mulutnya.
" Ani. Memikirkan kemenanganku sudah membuatku kenyang. Aku ingin segera sembuh dari sakitku." Kataku masih terkonsentrasi pada layar laptop.
" Fighting, Saeng!!" 
" Ne!" 

Dengan begitu ringan kulentikkan jemariku, menekan tombol-tombol keyboard. Imajinasiku melayang pada suasana senja kemuning di dekat danau. Musim semi hampir usai. Dan saat itu dua hati tak bisa bersatu karena alasan yang belum jelas. Bukan tak ada cinta di antara keduanya. Bukan pula mereka belum saling mengenal. Entah apa alasan sang gadis tak menerima lelaki itu, lelaki tampan itu. Hingga ketika hujan mulai turun, menandakan bahwa musim gugur telah meyapa, lelaki itu menunggu sang gadis di danau, tempat di mana mereka biasa derdua. Namun ia tak kunjung datang. Dan sang lelaki memutuskan untuk mendatangi rumah gadis lembut itu, Kim Hana. Betapa terkejutnya saat ia dapati bahwa rumah keluarga Kim Hana tengah berduka. Ia lebih terkejut lagi saat mengetahui bahwa Hana-lah yang berpulang. Lelaki itu berlari, menangis sejadinya sepanjang jalan. Ia kembali sampai di dekat danau. Saat ia berkaca pada airnya yang samar karena terperciki air hujan, terlihat Hana tersenyum di belakangnya. Saat ia menoleh, nihil. Hana memang telah tiada. lelaki itu begitu membenci dirinya. Bagaimana bisa ia mengaku mencintai Hana, sedangkan Hana mengidap leukimia akut saja ia taka tahu.
Aku menutup kisahanku dengan setetes air mata. beruntung Hyoo Ra tak melihatnya. Ia begitu tenang melihat tingkah lelaki busuk yang tengah melempar-lemparkan bola voli. Siapa lagi kalau bukan Dong In. Aku kembali terkonsentrasi pada layar di depanku. Selangkah lagi. Hingga...
" Dasar lelaki bodoh!" Umpatku. Hyoo Ra terkejut melihat laptopku tercebur kolam. Bola voli yg dilemparkan Dong In mengenai laptopku.
Aku mendekati Dong In. Rasanya aku ingin membunuhnya.
" Lelaki busuk!" Umpatku kembali. Tak tersadar, air mataku menetes. Hatiku begitu sakit. Optimisku terhapus. Aku tak lagi mau sembuh. Aku berlari meninggalkan Dong In dan Hyoo Ra. Betapa aku tak lagi memiliki semangat untuk sembuh. Yang ada dalam benakku adalah bahwa aku akan mati. Segera.

Setelah kejadian itu, aku tak lagi mau bersekolah. Teman-teman dan guruku telah membujukku dengan begitu halus. Namun aku tetap bersikukuh tak mau berangkat sekolah. Aku muak melihat wajah Dong In. Sampai-sampai nenekku menagis di depanku. Memaksaku untuk masuk sekolah.
Suatu hari, itu adalah hari ulang tahunku. Joon Soo, tetanggaku, yang juga jadi teman satu kelasku datang. Ia membawakan kue tart untukku, ada 16 lilin di sana.
" Make a wish, sweety. Lalu tiup lilin-lilin ini."  Katanya ketika aku membukakan pintu untuknya. Aku tak dapat membendung air mataku.
" Aku hampir mati, Soo." Ucapku dalam pelukannya.
" Tidak. Aku yakin, kau akan sembuh."
" Aku tak yakin."
Joon Soo menatapku dalam-dalam.
" Percayalah."

Dan saat aku membuka mataku, aku telah berada di sebuah kamar di rumah sakit. Jendela yang basah menandai musim semi telah berakhir. Saat aku menoleh ke sebelah kananku, ku temukan Soo tengah tersenyum.
" Selamat pagi, Jung Hwan." Sapanya.
" Apa aku pingsan lagi?" Tanyaku. Soo mengangguk.
" Terimakasih telah menolongku."
" Bukan aku yang menolongmu. Ucapkanlah terimakasih pada Dong In. Saat kau pingsan setelah kau menangis di depanku, aku membawamu keluar mencari tumpangan. Dan Dong In kebetulan lewat. Dia yang membawamu ke sini. Saat dokter mengatakan bahwa darah harus ditransfusi ke tubuhmu, Dong In lah yang mengiyakan dan dialah yang membayar biaya operasimu. Dan kau tahu, Dong In memdonorkan darahnya untukmu.
Rasanya aku tak percaya. Darah yang mengalir di nadiku adalah darah lelaki busuk itu. 
" Sungguh?" Tanyaku memastikan.
" Ne, Saeng."
Malam merajut. Tak ada satu pun penjaga di kamarku. Hyoo Ra dan Joon Soo pulang bersama sore tadi. Mereka pacaran sekarang. Ada rasa sedih di hatiku. Itu karena diam-diam aku menyukai Soo. Aku coba menahan tangisku. Dan saat ini aku tengah sendiri. Tak ada yang melihatku menangis. Ku putuskan untuk membebaskan air mata yang terbendung. Aku tahu, Soo hanya menganggapku sebagai adiknya. Tak apalah, sembuh dari hemolitik ini sudah cukup.
" Hwan." Suara seorang lelaki memanggilku. Aku terkejut. Terlebih ketika tahu bahwa suara lelaki itu adalah suara Dong In. Aku mengusap air mataku.
" Adakah aku mengganggumu?" Tanyanya.
" Ah? Anio...." Ku paksakan bibirku untuk tersenyum.
" Jangan paksakan bibir manismu untuk tersenyum." Kata Dong In menyadari keterpaksaanku.
"Gomawo, ne?" Kataku. Dong In tersenyum.
" Maaf telah mengataimu "lelaki bodoh"". Mendengar itu, Dong In terkekeh.
" Aku memang bodoh. Semakin terlihat bodoh ketika tersadar bahwa aku memaksakan hatiku untuk mencintai sahabatmu sedangkan hatiku memilihmu sedari dulu." 
Aku terkejut. Namun kembali ku tata hatiku.
"Dia lelaki busuk. Mungkin itu hanya bualan."  Batinku.
" Kau tahu? Aku dan Hyoo Ra adalah saudara seayah." Jelas Dong In. Aku kembali terkejut.
" Hyoo Ra tahu itu. Cintanya buta. Aku melukianya agar dia membenciku. Setidaknya membuat Hyoo Ra memutuskan hubunganku dengannya. Tetap saja, dia enggan melakukan itu. Akhirnya aku putuskan hubunganku dengan Hyoo Ra. Dengan cara yang keras menurutku."
" Sungguh?" Tanyaku kembali. Tak percaya.
" Ne. Oiya.. nanti sore, kau boleh pulang. Aku akan mengantarmu sampai rumah." Kata Dong In. Dia terlihat sangat berbeda dari yang ku fikirkan."

Dan benar, sekitar pukul 4 sore, ia menjemputku di rumah sakit. Mengajakku melihat pemandangan senja di musim gugur. Mobil membawaku dan Dong In ke tepi danau. kami duduk berdampingan di sebuah bangku kayu.
" Maukah kau menjadi kekasihku?" Kata Dong In mengutarakan perasaannya.
" Mwo?" Sergahku tak percaya.
" Iya?"
" Tak. Tak mau." Jawabku.
" Weiyo?"
" Emm...mungkin karena aku membencimu." Jawabku berat. Seketika Dong In menunduk.
Kami sempat bermain air danau pasca pengungkapan perasaan dan penolakan itu. Ku rasa Dong In mampu bersikap dewasa.
Sepanjang perjalanan pulang menuju rumahku, aku berfikir keras. Aku bukan membencinya. Bahkan aku memiliki perasaan yang sama dengannya. Hanya tak sedari dulu. Tepatnya saat perkemahan sekolah setengah tahun lalu. Saat aku hampir sekarat terkena bisa ular. Dia yang menyedot bisa di lenganku dengan mulutnya. Hanya aku tak mau mengakuinya, dan berusaha menutupi perasaan itu dengan rasa benci..
Lantas mengapa aku tak menerimanya? Aku tak enak dengan perasaan Hyoo Ra yang aku yakin, ia masih menyukai Dong In.
" Tenanglah, jika memang Tuhan mengizinkan, aku akan jadi milikmu, In." Batinku seraya menatap Dong In yang terlihat begitu serius mengendarai mobilnya.

Senja kemuning untuk hati yang baru. Senja di musim gugur yang tenang.

Tidak ada komentar: